Sabtu, 05 November 2011

Awal Kiblat ke Arah Ka’bah


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ }
(صحيح البخاري)
“Dan bahwasanya Rasulullah SAW shalat menghadap Baitul Maqdis, selama 16 atau 17 bulan (sebagian pendapat mengatakan yang dimaksud 16,5 bulan di Madinah), dan Rasulullah SAW menginginkan shalat menghadap Ka’bah, maka Allah turunkan: KAMI (Aku) TELAH MELIHAT PANDANGANMU (wahai Muhammad SAW) SELALU MENANTI KABAR DARI LANGIT (wahyu). (dst hingga akhir ayat). QS Albaqarah 144) (Shahih Bukhari)

Image Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha mengundang kita kepada keluhuran sepanjang waktu dan saat untuk terus semakin dekat kepada kasih sayang-Nya. Cahaya kerinduan Yang Maha Abadi menanti hamba-hamba yang merindukan-Nya. Cahaya kerinduan Yang Maha Luhur menanti jiwa yang berpijar dengan cinta kepada-Nya. Cahaya kerinduan Yang Maha Indah menanti air mata doa-doa hamba-Nya, semoga aku dan kalian diterangi dengan cahaya kerinduan Allah subhanahu wata’ala, sanubari kita, pemikiran kita, hari-hari kita, seluruh jasad kita, semua panca indera kita dan seluruh kehidupan dan kematian kita berada di dalam cahaya kerinduan Allah subhaanahu wata’ala. Cahaya kerinduan Allah berpijar pada hati semua hamba dengan munculnya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai simbol cahaya kerinduan Ilahi, sebagai simbol cahaya yang sangat dicintai oleh hamba, yang dengan mencintai beliau maka sempurnalah iman para hamba Allah, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :
 لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Belum sempurna iman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih dicintainya dari ayah ibunya, anaknya, dan seluruh manusia” 
Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“ Belum sempurna iman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih dicintainya dari dirinya sendiri, keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia ” 
Maka dengan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dari kecintaan kepada seluruh makhluk maka jadilah kecintaan kita kepada keluarga, ayah dan bunda, kepada harta dan semua yang kita miliki, kesemuanya berada dalam naungan keridhaan Allah subhanahu wata’ala sehingga tidak melampaui batas dan dijaga oleh Allah, karena telah dinaungi dengan cinta Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ayah bundanya dinaungi oleh cinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, anak-anak dan semua keluarganya dinaungi dengan cinta sayyidina Muhammad, dan hartanya pun dinaungi oleh cinta sayyidina Muhammad.
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
( البقرة : 144 )
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” ( QS: Al Baqarah : 144 )
Ayat ini turun di bulan Sya’ban Al Mubaarak, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menginginkan kiblat untuk diarahkan ke Ka’bah tapi beliau selama di Madinah tetap mengarahkan kiblat ke Baitul Maqdis, maka ketika itu turunlah ayat tersebut.
Allah berfirman :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit”
Kalimat “Kami” bermakna “Aku”, namun kalimat “kami” bermakna untuk memuliakan, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahasa bahwa tidak ada satu pun kalimat subjek dari semua bahasa yang pantas untuk Allah subhanahu wata’ala, oleh sebab itu di dalam Al Qur’an terkadang Allah subhanahu wata’ala mengatakan dengan kalimat أنا ( Aku ), terkadang juga mengatakan dengan kalimat نحن ( Kami ), dan terkadang mengatakan dengan kalimat هو (Dia) untuk Dzat-Nya, karena tidak ada ada satu pun kalimat yang layak untuk Dzat Allah subhanahu wata’ala, karena Allah tidak bisa disamakan dengan makhluk. Jika seandainya Allah hanya memakai dhamir (kata ganti) أنا (Aku) untuk Dzat-Nya maka manusia tidak boleh menggunakan kalimat أنا (aku) karena telah digunakan tunggal untuk Allah subhanahu wata’ala maka manusia tidak boleh menyamai Allah. Dan jika Allah hanya menggunakan kalimat نحن (kami) saja untuk dzat-Nya maka kalimat itu tidak boleh juga dipakai oleh manusia, dan jika Allah subhanahu wata’ala hanya menggunakan kalimat هو (dia) saja untuk menyebutkan dzat-Nya maka manusia tidak boleh menggunakan kalimat itu, oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala menggunakan ketiga kata ganti tersebut, sesekali Allah menggunakan kalimat أنا , sebagaimana firman-Nya:
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا
“ Tiada Tuhan selain Aku ”
Dan terkadang Allah subhanahu wata’ala menggunakan kalimat نحن (Kami), sebagaimana firman-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit”
Allah mengetahui jwa sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menginginkan kiblat diarahkan ke Ka’bah, maka Allah subhanahu wata’ala menjawabnya :
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
“maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai”.
Allah memberi kebebasan kepada nabi Muhammad untuk memilih kiblat untuk ummatnya, baik itu ke Bait Al Maqdis atau ke Ka’bah, maka nabi Muhammad menghadap dan memilih kiblat ke Ka’bah. Meskipun sebenarnya Allah telah mengetahui bahwa kiblat itu akan diarahkan ke Ka’bah, namun demikian Allah subhanahu wata’ala ingin menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya bahwa betapa cintanya Allah subhanahu wata’ala kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai arah kiblat pun Allah tawarkan kepada nabi Muhammad untuk memilih kiblat yang diridhai dan Allah merestui kiblat yang dipilih oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam .
Kalimat pengagungan dari Allah subhanahu wata’ala kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dimunculkan dalam Al qur’anul Karim adalah sebagai tanda bahwa Allah subhanahu wata’ala sangat mencintai dan memuliakan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ciptaan Allah, namun Allah menginginkan hamba-hamba-Nya mencintai dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam , sebagaimana Allah memerintahkan malaikat dan iblis untuk bersujud kepada nabi Adam As, maka bukan berarti nabi Adam As adalah tuhan kedua yang harus di sujudi, namun perintah Allah dengan bersujudnya malaikat kepada nabi Adam AS di saat itu adalah ibadah malaikat adalah merupakan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan bukan ibadah kepada nabi Adam As, akan tetapi hal itu ditolak oleh Iblis.
Maka mereka yang menolak untuk memuliakan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berhati-hatilah karena bisa wafat dalam keadaan su’ul khatimah, semoga mereka yang belum memahaminya dilimpahi hidayah oleh Allah subhanahu wata’ala. Ayat ini turun di bulan Sya’ban Al Mukarram, dan banyak lagi kejadian-kejadian agung yang terjadi di bulan Sya’ban, firman Allah subhanahu wata’ala :
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
( القمر : 1 )
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan “. ( QS: Al Qamar : 1 )
Dan kejadian yang disebutkan dalam ayat itu pun terjadi pada bulan Sya’ban. Di saat nabi belum hijrah dan ketika beliau memanggil bulan maka bulan itu pun datang, semakin dekat dan semakin besar dan membesar, hingga nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan isyarat dengan telunjuknya agar bulan tetap pada tempatnya kemudian terbelah, maka bulan itu pun terbelah menjadi 2, yang satu sisi berada di atas gunung dan satu sisi lainnya berada di atas gunung yang lain, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan bulan itu untuk menyatu dan kembali kepada tempatnya, bulan pun menuruti perintah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang akhirnya menyatu dan kembali kepada tempatnya. Ketika bulan itu terbelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “saksikanlah, saksikanlah”. Namun kuffar quraisy berkata bahwa hal itu adalah perbuatan sihir sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ketika kafilah-kafilah datang dari tempat-tempat lainnya seperti Persia dan lainnya, setelah ditanya apakah pada suatu malam tertentu bagaimana mereka melihat bulan, maka mereka menjawab bahwa mereka menyaksikan bulan purnama di saat itu terbelah menjadi dua dan mendekat seakan-akan di atas bumi Makkah, mereka yang perjalanannya menempuh 3 bulan lamanya pun melihat di waktu itu bulan terbelah, karena perintah Allah subhanahu wata’ala kepada bulan untuk patuh pada perintah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kejadian itu pun terjadi di bulan Sya’ban. Adapun kejadian lain yang terjadi di bulan Sya’ban adalah adanya rahasia kemuliaan malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
حم ، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ ، إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
( الدخان : 1-4 )
“Haa miim, demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. ( QS: Ad Dukhaan: 1-4 )
Dimana Allah subhanahu wata’ala ingin memisahkan ketentuan-ketentuan manusia sepanjang tahun berikutnya, hal itu terjadi di malam Nisfu Sya’ban sebagaimana pendapat sebagian ulama’ yang mengatakan demikian dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal itu terjadi di malam Lailatul Qadr. Dan para Imam salafusshalih mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan manusia itu ditentukan pada malam Nisfu Sya’ban, dan InsyaAllah malam Nisfu Sya’ban yang akan datang tanggal 16 Juli 2011 kita akan mengadakan acara akbar di Monas,,dengan membaca surah Yasin 3x dan dzikir يا الله 1000x seperti yang telah dilakukan oleh para imam kita, dan InsyaAllah akan disertai streaming sambutan guru mulia kita Al Musnid Al ‘Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidh . Dan semoga acara itu sukses, amin.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Dan di bulan Sya’ban juga merupakan bulan dimana telah diturunkan ayat diwajibkannya puasa , sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
( البقرة : 183 )
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. ( QS: Al Baqarah : 183 )
Adapun umat-umat sebelumnya tidaklah berpuasa di bulan Ramadhan, banyak pendapat yang mengatakan bahwa puasa mereka hanya beberapa hari saja dalam setahun, adapula pendapat yang shahih mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyuraa (10 Muharram) namun puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan khusus hanya untuk ummat sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan bulan Ramadhan itu digelari juga dengan bulan seribu sujud, karena mereka yang melakukan shalat tarawih 20 rakaat di setiap malamnya dan jika bulan Ramadhan itu jumlahnya 30 hari maka berarti telah melakukan shalat sunnah malam ( shalat tarawih ) 600 rakaat selama sebulan, dan dalam setiap rakaat itu ada 2 kali sujud, maka berarti dalam sebulan melakukan 1200 kali sujud. Dan jika bulan Ramadhan berjumlah 29 hari maka berarti hanya kurang sedikit dari jumlah itu, oleh sebab itulah bulan Ramadhan disebut dengan bulan 1000 sujud.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Ramadhan dihadapan kita, dan bulan Sya’ban telah bersama kita. Dan telah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Quds bahwa di bulan inilah turunnya firman Allah subhanahu wata’ala :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
( الأحزاب : 56 )
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi . Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. ( Al Ahzab : 56 )
Oleh sebab itu bulan Sya’ban digelari bulan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ayat untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini turunnya pada bulan Sya’ban, dan arah kiblat pun diberikan pada keinginan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Sya’ban, ayat mengenai kewajiban puasa Ramadhan pun turun di bulan Sya’ban, kejadian terbelahnya bulan pun pada bulan Sya’ban, dan ghazwah (perang) Bani Musthaliq serta Badr As Sughra yang kejadiannya setahun setelah perang Uhud terjadi pula pada bulan Sya’ban.
Diriwayatkan di dalam Shahihul Bukhari bahwa tidak ada satu bulan dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban, dan terkadang Rasulullah berpuasa penuh selama bulan Sya’ban, kecuali hari terakhir bulan Sya’ban karena hari itu adalah hari syak. Dan sebagian ulama’ mengatakan makruh hukumnya berpuasa setelah 15 Sya’ban, namun pendapat sebagian yang lainnya memperbolehkan puasa setelah tanggal 15 Sya’ban, tetapi yang jelas adalah larangan berpuasa di hari terakhir bulan Sya’ban, karena dikhawatirkan telah masuk malam 1 Ramadhan, maka berbeda niatnya berbeda, oleh sebab itu dilarang berpuasa di hari terakhir bulan Sya’ban . Di bulan Sya’ban ini juga disunnahkan memperbanyak shalawat kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena bulan ini adalah bulan ulang tahun shalawat kepada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadirin hadirat yang dimulikan Allah
Salah seorang hamba Allah bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Rasulullah menjumpainya di hari pertama bulan Sya’ban, seraya berkata: “Aku mendatangi ummatku yang masih hidup dan merindukanku dihari pertama bulan Sya’ban “, bulan Sya’ban adalah waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi ummatnya yang merindukannya, demikianlah mimpi dari seorang hamba tersebut. Para imam besar dan para shalihin pastilah selalu membuat hadiah untuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan masing-masing dari mereka dengan caranya sendiri, ada yang dengan cara membuat shalawat, seperti Al Imam Abdul Qadir Al Jailani yang membuat shalawat untuk sang nabi dan diberi nama Shalawat Al Kubra yang panjangnya 13 halaman, sebagaimana juga sayyidina Abu Bakr As Shiddiq dan sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw dan imam-imam besar lainnya pun membuat shalawat untuk sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Al Imam Abu Hasan As Syadzili ‘alaihi rahmatullah, bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mencium bibirnya , maka Al Imam berkata : “Wahai Rasulullah apa yang membuat engkau mencium bibirku?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Aku tidak mencium bibir seseorang kecuali ia telah bershalawat kepadaku sebanyak 1000 kali di siang hari dan 1000 kali di malam hari.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa orang yang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam…. , dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَقْرَبُكُمْ مِنِّيْ مَنْزِلَةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ أَكْثَرُكُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
“Yang paling dekat denganku kelak dihari qiyamat adalah yang paling bershalawat kepadaku.” 
Maka perbanyaklah shalawat kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas nama cintamu kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dengan hal itu Allah akan mempermudah kita untuk membuka cinta kehadirat-Nya, Sang Maha berhak dirindukan dari semua yang dirindukan, Allah subhanahu wata’ala . Maka muncullah para imam besar dengan kemuliaan-kemuliaan tuntunan mereka.
Selanjutnya saya akan menjelaskan masalah kredit Islami, dan tempat kreditnya pun dimana saja juga bisa, mungkin kredit motor, mobil atau rumah dan yang lainnya, cara yang sangat mudah adalah dengan cara dimana disaat akad janganlah menandatangani atau menyebut-nyebut persentase bunga, sebagai contoh misalnya harga suatu barang jika dibayar cash adalah 10 juta, dan jika dengan kredit harganya 15 juta, maka jangan sebut-sebut lagi masalah kredit namun cukup dengan mengatakan , misalnya: “saya beli motor ini seharga 15 juta, dengan angsuran pertama sekian, da setiap bulannya saya akan membayar dengan jumlah sekian, dan jika saya terlambat dalam pembayaran maka saya akan membayar denda dengan jumlah sekian”, tanpa harus menyebutkan atau menandatangani persentase bunga, karena jika hal demikian dilakukan maka telah terjebak dalam riba. Dan ada banyak pertanyaan tentang pegadaian, pegadaian itu hukumnya riba, maka jauhilah hal ini karena itu akan mencekik atau mengurangi keberkahan harta kita, maka jauhilah hal-hal yang dapat menyusahkan kita di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya kita berdzikir bersama, setelah itu kita akan melakukan tahlil singkat untuk menantu guru mulia Al kita yang telah wafat, sayyid Abdullah bin Isma’il As Saqqaf, kemudian qasidah penutup dan diakhiri dengan shalat ghaib yang di imami oleh guru kita Al Habib Hud bin Muhammad Baqir Al Atthas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar